RSS

Satu



ngin berhembus pelan dari sebuah lubang kayu besar tepat di depan wajahku. Kain putih yang bergelantungan di sisinya berayun melambai memanggil-manggil. Sinar surya senja dengan leluasa menerobos dan mengguyur tubuhku yang terbaring lemah di atas kasur busa yang diselimuti kain serba putih di atas ranjang besi yang kokoh, di sudut sebuah ruangan segi empat yang kurasa teramat sangat luas sehingga setiap pandanganku hanya menumbuk ruang-ruang kosong.

Aku mencoba bangkit dan meronta dengan harapan dapat terbebas dari cengkraman¬cengkraman kuat di pergelangan kaki dan tanganku. Tapi seketika itu tanganku terasa tersentuh sesuatu, harum menusuk hidung, dan sesosok bayangan putih dengan sebuah tabung transparan raksasa dengan jarum di pucuknya kemudian melayang menghampiriku. Aku berlari menghindar dengan segenap sisa tenaga, sejauh aku dapat berlari, namun lututku yang mulai terasa nyeri akibat luka lecet tak mampu lagi mendukungku dan tabung raksasa dengan jarum dipucuknya keburu menancap di sisi kanan pantatku. Bau obat. Sakit sebentar, kemudian suasana berubah gelap dan badanku yang sudah amat lelah sudah rebah kembali, pasrah dengan cengkraman-cengkraman pada pergelangan tangan dan kaki. Sedang kepalaku yang terasa begitu berat penuh pembalut menutupi wajah , terlalu sibuk bertarung dengan pikiran-pikiranku sendiri serta kenangan¬kenangan yang berlalu-lalang silih berganti.

***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dua

Pagi yang indah, sinar surya pagi yang hangat, burung-burung kecil bersenda gurau di dahan-dahan pohon akasia di sepanjang jalan Batu Sari. Kupu-kupu beterbangan di antara warna-warni bunga yang mekar nan harum semerbak, yang menggoda setiap kumbang-kumbang untuk datang dan menghampirinya.
Aku berjalan dengan langkah yang mantap. Ada kekuatan yang amat dasyat yang menumbuhkan semangatku untuk cepat sampai di tempat tujuan.
“Widi, hari ini kau semangat sekali”
Akhirnya Yuda membuka pembicaraan setelah terdiam beberapa lama, semenjak keluar dari gerbang pintu rumah Kost, dan mensejajari langkahku tak kalah semangat. Aku Cuma tersenyum.
“Heh, kau juga”
aku kembali dengan pikiranku sendiri, mencoba menikmati hijaunya rerumputan yang sebentar lagi akan lenyap ditelan kebisingan di kelokan menuju jalan Raya Puputan.
“Ada sesuatu yang belum sempat aku ceritakan kemarin malam, kau keburu tertidur lelap”
“Cerita apa?”
Kata-kata itu keluar begitu saja karena aku teringat kalau aku juga belum menceritakan sesuatu padanya, sesuatu yang membuatku begitu bersemangat di pagi itu.
“ Kau tahu kenapa aku bersemangat hari ini?”
“ Apa kau bermimpi indah kemarin?”
“ Bukan, bukan mimpi, tapi kenyataan ”
“ Kenyataan ? “
“ Iya, kemarin sebelum istirahat siang, aku dapat kenalan cewek di telpon”
Spontan aku terkejut, bukan karena Yuda mendapat kenalan cewek, tapi tepatnya karena aku juga mendapat pengalaman yang sama dalam waktu yang sama pula.
“ Bagaimana bisa ?”
“ Saat aku menghubungi nomor 705867, seseorang mengangkatnya dan dari suaranya aku tahu kalau dia anak cewek sebaya kita. Tapi saat aku menyampaikan informasi Telkom Reward itu, dia tidak percaya dan malah menuduhku bernama Kayun “
“ Kayun ?, Kayun siapa ?”
“ Mana aku tahu, tapi mungkin temennya yang suka jahil sama dia, soalnya dia sempat bicara begini, ‘ Kamu pasti kayun ya, udah … nggak usah ngaku-ngaku, pakek ngerubah suara dan ngaku dari Telkom, memang kemarin aku ngerjain kamu, tapi aku ‘kan udah minta maaf,”
“ Trus, bagaimana kalian berkenalan?”
“ heh…ya begitulah setelah susah-susah aku menjelaskan, akhirnya dia percaya juga, dan akhirnya kami berkenalan”
Aku Cuma tersenyum saja, dan aku heran, aku juga punya pengalaman yang sama.
“Da, aku juga sama, mungkin kau tidak percaya karena aku sendiri rasanya tidak percaya, semuanya seperti mimpi saja”
“ Maksudmu, kamu juga dapat kenalan?”
Aku mengangguk, “ Kurang lebihnya seperti pengalamanmu, tapi bukan karena dia nggak percaya, tapi..eh..pokoknya menyenangkan.”
“ Memang namanya siapa?”
“ Dia bilang namanya Dwi, itu saja. Aku belum tahu nama lengkapnya, memang kenalanmu namanya siapa?”
“ Namanya Ayu, dari Jimbaran”
“ Masih kuliah ?”
“ Enggak, udah kerja”
“ Pantas saja, saat makan siang di kantin, kau seperti nggak selera dan malah senyum-senyum sendiri, tapi kau tidak cerita”
“ Kau juga “
“ Kalau saja temen-temen nggak monopoli pembicaraan, mungkin aku sudah cerita waktu itu “
Pengalaman yang sangat menarik. Kami ber-enam, tiga orang dari jurusan Sekretaris dan tiga orang dari jurusan Komputer Akuntansi ditempatkan PKL di Dinas Marketing PT. Telkom, Tbk semua kejadian itu seperti mimpi. Tapi kurasa teman-teman yang lain tidak merasakannya. Yudi, temanku satu jurusan terlihat tidak betah, tapi kurasa soal cewek dia sangat berpengalaman sedang temen-temen cewek dari jurusan Sekretaris, terlalu asik dengan tugas-tugasnya, tapi aku tidak terlalu memikirkan mereka.
Separuh jalan sudah terlampaui, suara bising mulai kurasakan memekakkan telinga. Aku kembali sibuk dengan pikiranku sendiri. Angin berhembus lagi, menerbangkan daun-daun dan sampah-sampah plastik.
Kepalaku yang masih terasa terbalut sesuatu, terasa nyeri kembali. Sakit menusuk-nusuk. Dinding-dinding menari-nari dan berubah seram. Aku meggerakkan-gerakkan badanku,tapi aku hanya bisa menoleh-noleh saja karena cengkraman-cengkraman di pergelangan tangan dan kaki sangat kuat. Di sisi kananku berbaring, samar-samar terbayang wajah Ayah dan Ibu, sedang di sisi kiriku, Kakak perempuanku duduk termangu memandangiku lekat-lekat, dengan mata basah dan sembab.
Hei, kenapa kakakku bersedih?, sedang aku bahagia dengan kenalanku kemarin,. Ah, kakakku tidak tahu, aku belum sempat menceritakannya, badanku masih terasa begitu lemah dan berangsur-angsur bayangan-bayangan itu memudar dan akhirnya hilang kembali. Kemudian suasana berubah menjadi hitam pekat dan sunyi.

* * *

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tiga

Pikiranku sibuk berputar-putar. Aku merasa sedang menyusuri halaman demi halaman sebuah otobiografi yang amat besar dan mungkin jauh lebih besar dari pada harapan-harapanku yang harus kurelakan untuk kulupakan.
Semua bermula pada suatu ketika, saat mata kuliah On The Job Training tiba. Mahasiswa Wearnes Education Center mulai untuk mencoba mempraktekkan setiap mata kuliah yang telah didapatkan. Aku saat itu sangat khawatir , karena aku ditempatkan pada Dinas Marketing PT. Telkom . Aku mengira aku pasti tidak akan menyukai pekerjaan-pekerjaan di sana, tapi pikiran-pikiran itu malah berubah setelah beberapa hari bertugas di sana.
Aku masih sangat ingat waktu itu, Rabu tanggal 11 Juni 2003, aku bertugas membantu Divisi Transper Payment untuk menyampaikan informasi Telkom Reward lewat telepon, walau sebenarnya aku bertugas di Divisi Multi Media.
“ Mbak sudah mengerti belum ?”
Kata-kata itu terucap saat kurasakan kebingungannya atas penjelasanku tentang perolehan point-point undian Telkom Reward.
“ Sebenarnya saya belum mengerti, mungkin bisa diulang ?”
Tanpa banyak keberatan aku mengulang dengan kata-kata yang sama, karena aku sudah hafal betul apa yang harus aku ucapkan. Tapi suara di seberang malah tertawa kecil. Memang aku berbicara terlalu cepat dan terkesan tergesa-gesa hingga nyaris tanpa spasi. Tentu saja karena 2000 orang pelanggan harus diberikan informasi dengan hanya dikerjakan olehku, Yudi dan juga Yuda.
“ Sudah mbak ? “
Tak ada suara di sebrang.
“ Wah, goblok dulu deh, lama banget “
“ Ngomongnya, bisa pelan dikit nggak, kok nggak ada spasinya ?”
“ Oh, begitu ya.., jadi malu. Sebentar ya aku mau malu dulu sebentar “
“……….udah…”
“ Ya, udah”
Kembali suara cekikikan itu kudengar dan…….
“ Kayaknya kamu orangnya asik”
Semuanya seperti mimpi saja, tapi aku berusaha menguasai kegugupan.
“ Asik itu apa ?”
“ Menurutmu apa ?”
“Kalau menurutku, asik itu nasi dikasih bumbu dikasih sauce trus digoreng “
“ Wah , kalau itu sih nasi goreng namanya”
“ Oh salah ya..”
“ Goblok dulu deh “
Aku tertawa, dan kurasa suara disebrang juga.
“ Mbak masih kuliah ya ?”
“ Iya “
“ Semester berapa ?”
“ Dua “
“ Eh, sama, dimana ?”
“ Dhyana Pura, Kamu masih kuliah ?”
“ Iya, di Wearnes “
“ Wearnes ?, aku juga maunya kuliah di sana “
“ Benar ?”
“ Iya “
“ Oh…, boleh tahu namanya ?”
“ D…W….I, kamu siapa ?”
“ W…I….D….I “
Dan sejak saat itu aku tahu namanya Dwi. Tapi aku harus menghabiskan satu halaman daftar nomor telepon Pelanggan yang harus mendapatkan informasi, tentu saja nomor-nomor selanjutnya sekenanya saja kuberikan informasi, apalagi Ibu-ibu yang galak. Aku tidak telalu memusingkannya, agar aku bisa cepat-cepat menelepon Dwi. Dan sore itu :
“Halo, selamat sore….”
“ Selamat sore, Apa bisa bicara dengan Dwi ?“
“ Ada apa Widi ?”
“ Eh… Dwi ya ? “
“ Iya, sudah habis satu halaman ? “
“ Ya, begitulah…aku asal saja menginformasikannya, biar cepat-cepat bisa nelpon”
“ Widi mimpi apa ya aku semalam ?’
“ Eh, benar, aku juga mikirnya kayak gitu. Dwi lagi ngapain ? “
“ Bikin kue “
“ Kue ?”
“ Iya, mau pesen ?”
“ Boleh, tapi yang bentuk hati ya?”
“ Iya, aku bungkuskan dulu ya ?”
“ Nggak kuliah Wick ?”
“ Lagi libur “
“ Libur ? sampai kapan?”
“ Jangan terkejut ya “
“ Iya, memang sampai kapan ?”
“ Sampai awal Agustus “
Awal agustus? Aku berpikir sendiri, padahal masih bulan Juni, lama banget.
“ Jadi dapat nyantai di rumah dong. Tapi baik-baik di rumah ya Ma, Papa di kantor sampai pukul 5 nanti, habis itu baru bisa pulang.”
“ Eh…iya, pulangnya hati-hati ya Pa”
“ Iya, terima kasih Ma”
“ Ya ampuuun Widi “
“ Tapi, kita ‘kan udah ada si kecil “
“ Oh, iya, namanya siapa ?”
“ Mama aja yang kasih namanya, atau tanya sama tetangga sebelah “
“ Ah , nggak enak… mm….bagaimana kalau namanya ‘Cinta ”
“ Iya, bagus, anak putri namanya Cinta, jaga Cinta ya Ma, jangan sampai nangis”
“ Tentu saja Papa “
“ Ma, apa tetangga sebelah nggak suka mengganggu ? “
“ ‘kan gerbangnya sudah dikunci “
“ Oh, iya, pulang nanti, Papa mau beli gembok aja “
Sampai di sini suara di sebrang sudah cekikikan.
“ Ya ampuun, aku belum punya cowok, tapi sudah dipanggil Mama “
Aku juga sudah tidak bisa menahan geli.
“ Kayaknya, kita cocok juga ya, jadi Papa Mama, tapi sudah sore aku harus pulang, sudah ditunggu sama temen-temenku ”
“ Hati-hati ya ”
“ Iya , terimakasih “
“ Selamat sore Widi, eh tapi besok kerja lagi kan ?”
“ Tentu saja, dan aku pasti nelpon besok pagi, tapi passwordnya ‘Selamat pagi Widi’ OK “

* * *

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Empat

Malam Itu walau agak dingin, tapi terasa indah sekali. Bintang-bintang berkerlip di langit pekat. Dwi lagi ngapain ya ? aku sudah selesai mandi, badanku terasa capai, habis makan malam, rencanaku langsung tidur saja berharap mimpikan Dwi, tapi apa bisa ?
Yuda masih asik mengutak-atik tuning radio cassette, mencari-cari frekuensi yang pas.. Yuda teman akrabku sejak aku masih duduk di bangku TK. Tak pernah terbayang kalau hingga di bangku kuliahpun masih bersama-sama apalagi satu kamar kos. Akh, semuanya seperti mimpi saja, tapi aku sedang senang sehingga semua mimpiku menjadi indah dan aku rebah di ranjang. Badanku pegal-pegal dan nada-nada syahdu itu masih tetap mengalun tanpa henti, menjalar di setiap rongga tubuh, menembus jantung, ikuti arus air merah yang mengalir, hingga penuhi setiap sudut nadi. Akh, betapa indah puisi itu. Aku Cuma bisa menjiplaknya, terlalu indah. Tapi badanku tetap tidak bisa bergerak dan tak berdaya atas cengkraman-cengkraman di pergelangan tangan dan kaki.
Kembali bayang-bayang raut wajah Ayah dan Ibu membayang di sebelah tempatku berbaring. Tapi kini kulihat bayangan adik perempuanku yang masih duduk di bangku kelas II SMU, samar-samar, tapi aku tahu jelas ia adikku. Dia berdiri tepat di bawah lubang kayu besar tempat angin nakal itu behembus.
“Kakak, bangun Kak, Kakak masih ingat? Kakak ingin mengajariku komputer kalau sudah lulus nanti? “
Samar-samar suaranya ku dengar, ingin sekali aku menjawab, ‘tentu saja dik, tentu saja,’
Dan kubawa wajahnya ke dadaku karna kulihat dia amat sedih, tapi aku tidak tahu mengapa? Yang aku tahu aku tidak bisa berucap karna bernapas saja aku susah, dan juga cengkraman-cengkraman di pergelangan tangan dan kakiku membatasi gerakanku untuk menggapai bayang-bayang itu.
Bayang-bayang adikku semakin memudar tapi masih bisa kuingat-ingat dan aku terbayang saat masih SMU, saat adikku masih duduk di bangku kelas I dan aku kelas III. Beasiswa prestasi yang kuterima hanya cukup untuk membiayai kursus komputerku sendiri sedang adikku terpaksa harus menunggu lagi. Yah, kami dari keluarga susah, kalau saja bukan karena beasiswa-beasiswa yang ku kumpulkan mungkin aku tidak bisa melanjutkan sampai kuliah. Tapi adikku …..dan ….kepalaku, aduh pening. Sakit menusuk-nusuk. Aku meronta-ronta sekenanya, tapi usahaku malah membawaku ke tempat gelap pekat itu lagi, dan kurasakan badanku sangat lelah, teramat lelah dengan pikiran yang tetap sibuk tanpa henti, berlalu lalang, berganti-ganti, berlari……..

* * *

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Lima

Pagi kembali datang, sinar surya pagi terasa hangat di tubuhku. Aku sudah siap berangkat dengan seragam Hitam-putih dengan name text pada saku kemeja dengan bertuliskan ‘PKL’ di sudut kiri atas, dan kata-kata ‘Telkom Kandatel Denpasar’ di bawah sebuah gambar (logo PT. Telkom), baru kemudian gambarku tertempel tepat di tengah-tengah dengan jas almamater warna biru laut, dasi hitam dan kemeja putih menyembul di sekitar leher dengan back ground warna merah. Di bawahnya tertera namaku dengan huruf yang rapih dan bagus. Dan seperti hari kemarin, aku sangat bersemangat untuk cepat-cepat tiba di tempat praktek, kurasa Yuda juga sama, sudah siap-siap berangkat.
Mataku masih merah, aku tak bisa tidur semalaman. Aku cuma pura-pura tidur. Separuh lebih dari isi kepalaku sibuk memikirkan Dwi. Dwi yang baru kukenal lewat telepon, tapi aku merasakan hal lain. Aku merasa telah mengenalnya sejak lama, seperti telah ada perasaan yang sangat khusus, aku tidak dapat mengungkapkannya. Sebelumnya aku tak pernah merasakannya. Memang aku pernah merasa kagum pada temen-temen cewek di SMU dulu, tapi itu sangat berbeda dengan persaan ini, sangat jelas.
Tapi perasaan apa ? kenapa aku terus menerus memikirkannya ? padahal aku tidak tahu apa dia memikirkanku atau tidak. Akh, aku tidak tahu, aku tidak mengerti, aku lelah berfikir sendiri aku lelah…..dan…
Seperti pagi-pagi sebelumnya. Aku duduk di bangku empuk dengan ruangan sendiri, walau sedikit sempit. Di depanku seperangkat personal komputer bertengger di atas meja dan sebuah line telepon di sebelah kanannya. Sebelumnya aku sempat menemui teman-teman di ruangan multi media, sekadar menanyakan absen. Ruangan multi media cukup luas dengan satu meja memanjang dengan kursi di sekelilingnya. Sebuah papan untuk menerima sinar dari layar LCD proyektor terpajang di depan. Biasanya ruangan ini dipakai rapat tapi juga dipakai saat kumpul-kumpul sebelum ke ruangan tugas masing-masing. Ruanganku bersebelahan dengan ruangan Yuda, tapi tidak seperti biasanya, dadaku berdegup lebih kencang sebelum aku mengangkat gagang telepon. Aku tidak mengerti, tapi akhirnya kuangkat juga, dan tentu saja menelpon Dwi.
“ Mat pagi Widi “
“ Eh, mat pagi, aku kira Dwi lupa Passwordnya, ..….Cinta udah bangun”
“ Belum, masih bobok “
“ Tapi nggak ngompol lagi kan?”
“ Nggak , tadi aja , tapi ‘kan udah Papa ganti popoknya “
“ Akh iya, tapi khawatir kalau di tinggal ke kantor, si kecil ngerepotin Mamanya lagi ”
“ Ah, enggak..”
“ Papa kangen juga sama si kecil “
“ Kan udah ada fotonya di dompet “
“ Oh iya, di meja kerja juga ada, Mama di sebelah kiri Papa dan Cinta di tengah-tengah, romantis nggak Ma ?”
“ Ya…..ampunnn….Widi “
Tawa geli sudah tidak bisa dibendung lagi, diam sebentar dan dadaku berdegup lagi, aku tidak tahu ini pertanda apa. Kucoba menenangkan diri dan berkata-kata lagi.
“ Wi “
“ Ya “
“ Aku ada tanda petik, maksudku ada sesuatu yang ingin aku sampaikan “
“ Apa itu “ suara Dwi tertahan
“ Sebenarnya…..” giliran suaraku yang tertahan. Jantungku berdegup lebih kencang. Aku nyaris gugup.
“Sebenarnya….ada perasaan yang sangat khusus yang tidak kupahami padamu Wi “
Akhirnya terlontar juga kata-kata itu. Tak kudengar jawaban, tapi aku sudah pasrah sebab aku sudah terlanjur mengucapkannya.
“ Bagaimana Wi ?“ Dwi diam, tapi kemudian diucapkannya kata-kata dengan santai.
“ Widi…Widi, mimpi apa aku semalam, baru kemarin aku kenal seseorang lewat telepon yang menginformasikan tentang point, eh…..besoknya udah nembak “
Kontan mukaku memerah, syukurnya tidak ada yang tahu. Aku jadi sadar, caraku salah, aku tidak sopan, tapi aku tidak mengerti, aku malah melanjutkan kata-kataku.
“ Maaf , mungkin aku tidak sopan ya ?”
“ Bukan begitu Widi, tapi….tapi kamu belum tahu banyak tentang aku. Aku takut kamu akan kecewa “
“Aku tidak akan kecewa “
“ Tapi Widi ….” Suara Dwi tertahan kembali. Aku diam berusaha menekan segala himpitan yang memberat dan menyesakkan. Dwi melanjutkan kata-katanya.
“ Widi, ..Kok Bisa…..?”
“ Nggak tahu Wi, aku rasa, aku begitu saja bisa akrab sama kamu, yah walaupun baru sebatas lewat telepon “
“ Widi,……sebenarnya aku pernah punya pengalaman seperti ini “
Pengalaman seperti ini ? apa maksudnya ? aku diam. Ingin aku bersembunyi sehingga rasa malu ini tidak bisa mengintipku lagi.
“ Widi, dulu aku pernah punya temen, satu kampus. Aku kenal sama dia gara-gara dia sering nolongin aku di tempat parkir kampus, ngeluarin motor kalau mau pulang. Kalau di telpon dia bisa bicara lancar sama aku, tapi kalau sudah ketemu, dia pasti diam saja, pura-pura tidak tahu “
“ Dia juga suka padamu Wi “
“ Nggak tahu tapi, suatu hari dia pernah nembak, lewat telepon juga, tapi….”
“ Tapi Dwi mau kan ? “
“ Aku bingung saat itu, aku tidak tahu dan aku bilang sama dia kalau aku tidak bisa, ta
pi, aku menawarkan untuk temenan. Setelah itu, dia tidak pernah menelpon lagi, mungkin dia memang nggak mau temenan sama aku “
Aku mendesah, terasa ada yang menyesakkan dadaku, dan ingin kuhempaskan, tapi beban itu terlalu berat dan menghimpitku.
“ Tapi Wi, aku tidak akan seperti itu “
“ Bukan begitu maksudku Widi, bukan. Bukan karena kamu nembak lewat telepon “
“ Jadi aku salah Wi “
“ Aku tidak tahu Widi, aku tidak tahu “
Kali ini aku benar-benar diam. Rasa malu dan kecewa bercampur jadi satu seperti tipat santok bibi kantin, tapi tentu saja rasanya tidak selezat tipat santok bibi kantin.
“ Widi , kamu ditelan bumi ya”
“ Ah.. eh…belum”
“Widi….Kayaknya aku akan mengulang kesalahanku yang dulu ……….“
“ …………”
“ Widi……., aku belum bisa menjawab sekarang, pokoknya kita jalan aja dulu “
Jalan aja dulu ? maksudnya ? tentu saja aku tidak mengerti, tapi aku seakan tersadar dari sebuah kekeliruan. Dwi benar. Bagaimana bisa ? sedang Dwi saja belum tahu aku, begitu juga sebaliknya. Orang bilang cinta itu datang dari mata lalu turun ke hati. Yah walaupun tidak seratus persen orang seperti itu.
“ Terimakasih Wi, kamu bijaksana sekali “
“ Waduh , tersanjung 11 nih “
“ Maafin aku ya Wi, aku telah mengganggu pikiranmu. ….Aku harus melanjutkan tugasku, nanti siang aku telpon lagi”
“ Kamu nggak apa-apa kan ? “
“ Eh….nggak apa-apa, jaga Cinta ya Ma”
“ Tentu saja, Papa Widi, selamat bekerja”
“ Terimakasih “
Aku pandangi layar komputer di depanku. Kursornya berkedip-kedip seiring detak jantungku yang kembali melemah. Aku seakan tidak percaya apa yang tadinya kualami. Berbagai perasaan berkecamuk. Kenapa aku cukup punya nyali ? apa karena tidak secara langsung ? atau mungkin karena memang aku sudah punya nyali sekarang ?
Akh, semuanya menjadi tidak jelas, aku tidak mengerti. Tapi pertanyaan-pertanyaan itu seperti diucapkan orang lain kepadaku. Orang lain yang sangat mengetahui segala seluk-beluk tentangku. Dan dia bertanya lagi. ‘Kenapa kau rusak suasana pagiku yang indah ?’ aku tidak ada maksud seperti itu. ‘Lalu apa ?’ aku tidak tahu. Aku hanya ingin mengungkapkan persaanku, apa aku salah ?, ‘Kau tahu sendiri jawabannya, yang jelas Kau telah merusak suasana pagiku yang indah, kau telah merampasnya, kau telah…’
Hentikan….hentikan….aku meronta sejadi-jadinya, tapi secepat kilat bayangan-bayangan putih berkelebat. Jeritan Ibu…..jeritan Adik dan bayangan putih yang datang paling akhir dengan tabung transparan itu pula, siap menusukku lagi, aku lemas dan kembali lunglai tanpa daya.

* * *

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Enam

Hari-hari kembali berlalu seperti halaman demi halaman sebuah buku cerita yang terbolak-balik. Aku seakan telah benar-benar larut dalam kisah-kisah didalamnya. Ya, aku bahkan berperan sebagai salah satu tokoh dalam cerita itu. Aku merasa sedang berkelana dalam sebuah kisah yang pernah terjadi di alam nyata, hingga pada suatu sore yang lain.
Aku, juga teman-temanku sedang berkumpul di ruang Multi media, eh tentu saja aku memegang gagang telepon tanpa banyak nimbrung dalam percakapan teman-teman yang lain. Kulihat Yuda juga melakukan hal yang sama.
Sebenarnya aku sudah menahan-nahan untuk tidak menelpon. Tapi aku akhirnya menyerah juga, lagi pula tak ada alasan yang tepat kenapa aku harus berbuat seperti itu, selain menyiksa diri sendiri.
“ Selamat sore Widi “
“Eh…sore. Pasti kalau yang nelpon pada pagi, siang dan sore itu pasti aku ya. “
“ Nggak juga, tapi kalau biasanya pagi pukul setengah delapan, siang pukul duabelas, dan sore sekitar pukul empat itu biasanya Widi”
“ Heran juga ya, tiga kali sehari, Dwi pasti bosan ya “
“ Widi, kamu lahir tanggal berapa ? “
“ 5 februari, kenapa ?”
“ Jadi bener, kamu aquarius kan? “
“ Ya, tapi apa hubungannya ?”
“ Orang aquarius itu sok tahu “
“ Tapi Dwi bosan juga kan ?”
“ Widi, Widi, aku ada tanda petik”
Tanda petik? Tanda petik berarti ada sesuatu yang ingin disampaikan. Aku mencoba menenangkan diri sesempurna mungkin, tapi dadaku malah memukul-mukul genderang besar. Aku merasakan sesuatu yang tidak baik.
“ Ada apa Wi ?”
“ Yang kemarin “
Aku sudah semakin tidak tenang, aku takutkan sesuatu yang tidak baik itu, tapi aku pasrah.
“ Widi, aku senang bisa kenal sama kamu, kamu baik , tapi semua hal sudah aku pikirkan dan……… aku nggak bisa Wid.”
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku merasakan halilintar-halilintar bersabung dan bergemuruh di dalam dadaku, tapi Dwi melanjutkan lagi.
“ Aku nggak ingin memberikan harapan, tapi kalau-kalau akhirnya memang nggak bisa, tapi kita bisa sobatan Wid “
“ Sobatan ?”
“ Iya”
“Wah, kayaknya aku nggak mau tuh “
“ Nggak mau? Aku kecewa nih “
Kecewa ? aku juga kecewa, dalam hati aku berpikir, selama ini aku terlalu menuntut dan tentu aku salah . Belum tentu juga Dwi mau terima kalau Widi itu seperti ini. Seharusnya persahabatan , itu sudah sangat cukup.
“ Widi, kamu ditelan bumi ya ?”
“ Eh…nyaris, sobatan maksudnya bagaimana ?”
“ Kamu kan sudah punya “
“ Yuda maksudnya ?”
“ Iya“
“ Jadi sobatan maksudnya seperti aku dan Yuda “
“ Iya “
“ Nggak lebih ?“
Dwi diam , aku hanya mendengar suara anjing bergong-gong.
“ Widi, semua hal ,kan harus dipikirkan. Akupun sebelumnya sudah berpikir berkali-kali “
“Dan ini keputusannya ? “
“ ……Iya”
“ Hhhh…ya...baik wi, terimakasih ya “
“ Widi, kamu tidak apa-apa kan ? “
“ Tidak apa-apa, aku bisa menjaga perasaanku sendiri “
“ Tapi Widi……Widi …“
Gagang telepon kututup walau sebenarnya sangat berat untuk kulakukan. Pukul 17:30, teman-temanku sudah pada kabur, aku heran dengan diriku sendiri, aku sedikitpun tidak menyadari kehadiran mereka, hingga mereka pulang pun, aku tidak merasakannya. Tapi suasana hatiku sedang tidak enak.
Aku buru-buru keluar dan menemui Yuda. Aku berlalu saja tanpa banyak bicara, sedang Yuda asik memainkan cabang akasia yang menjulur ke trotoar sambil asik bersiul. Aku tahu dia sedang senang, dan aku benar-benar tahu setelah Yuda menceritakannya.
“ Tadi nelpon Dwi kan? Bagaimana perkembangannya ? “
Aku tidak bisa menjawab, tapi aku balik bertanya.
“ Ayu bagaimana ? tampaknya kau sedang senang ? “
“ Yah begitulah, Dia bakal datang ke kosan. Kami bakal ketemuan di sana “
“ Hah…ke Kosan ? “
“ Kenapa memangnya ? Dia sendiri yang minta. He…tahu nggak dia bilang apa waktu kutelpon “
“ Bilang apa ?”
“ Yuda, kau pujaanku , cintaku, harapanku. Sehari saja tidak dengar suaramu aku sudah tidak bisa tenang , dan itu diucapkannya setiap kali kutelpon. “
Nasib Yuda memang sedang lebih baik, tapi apa itu tidak terlalu muluk-muluk padahal mereka baru kenal lewat telpon juga. Tapi Yuda sedang berbunga-bunga, tak baik kalau aku mengusik kebahagiaannya.
Pandanganku menerawang jauh ke langit biru, ada sesuatu yang hilang. Ya, suasana hatiku yang indah, yang seindah kebunku, penuh dengan bunga, ada yang putih dan ada yang merah, setiap hari kusiram semua, mawar melati akh……semuanya hilang. Semuanya gelap, kepalaku sakit. Kepalaku penuh pembalut. Aku susah bernafas, aku susah bergerak, pergelangan tangan dan kakiku dicengkram ke ranjang besi. Aku lelah, amat lelah sekali…….

* * *

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tujuh

Udara terasa amat sejuk. Sejauh mata memandang, terbentang panorama yang sangat indah. Rumput-rumput yang masih basah oleh embun semalam, pohon-pohon wila, langit biru dan awan-awan putih. Jauh di bawah, air terjun Yeh Jinah menderu berselendangkan pelangi. Gemercik airnya berkilauan yang kemudian mengalir berkelok-kelok diantara sawah-sawah yang menghijau dan berhenti sesaat di bendungan Dam Saban.
Alam Bukit Mujan memang indah. Tapi orang tua beranggapan tempat ini angker. Mungkin mereka salah anggapan karena tidak tahu akan keindahannya. Memang kalau diperhatikan di puncak bukit ini ada bangunan candi yang sudah lumayan tua di bawah sebuah pohon cempaka yang besar dan rindang. Tapi tak bisa dibantah kalau tempat ini disucikan, khususnya bagi Umat Hindu.
Aku duduk di bibir tebing tepat di atas kelokan-kelokan sungai Yeh Jinah yang jernih. Sinar matahari kubiarkan menghangatkan setiap sudut ruang dalam tubuhku yang hampa dan dingin. Dikepalaku berlalu-lalang setiap kejadian-kejadian yang telah lama berlalu.
“ Widi, hari ini aku pingin ngomong santai “
“ Oh iya, aku juga “
“ Widi, kita ketemuan yuk “
“ Eh.. iya, dimana? “
“ Terserah “
“ Lho…, kok gitu “
“ Nggak, maksudku di mana aja “
“ Dimana ? “
“ Ya terserah, asal jangan di Pantai “
“ Kenapa ? “
“ Nggak enak aja “
“ Ya deh, Dwi maunya dimana ?”
“ Bagaimana kalau di Ramayana, di bagian buku ”
“ Ya deh. Dwi pakai baju apa ?”
“ Baju merah “
“ Aku baju biru, kapan ?”
“ Mmm….. hari jum’at tanggal 11 ya?”
“ Aduh, aku ada ujian Komputer pukul enambelas, tapi kalau agak siangan bisa “
“ Jam berapa ?”
“ Jam Tiga bisa ?”
“ OK deh, Jam tiga “
Percakapan itu terngiang-ngiang di ruang dengarku. Seperti ada yang mengucapkannya kembali, dengan tepat tanpa ada yang ganjil, tanpa ada nada yang berbeda.
Pandanganku melayang jauh ke puncak air terjun Yeh Jinah.
“ Da, kamu ada rencana ketemuan ‘kan sama Ayu, udah jadi ?”
“ Belum, nanti aja. Cuman aku lagi kepikiran, jangan-jangan orangnya dolpeng “
“ Kalau aku sih nggak, soalnya belum tentu juga kita lebih baik . Dia bisa terima kita apa adanya saja sudah sangat amat sukur, malah aku mikirnya kebalik, kalau-kalau dia yang mengnggapku jelek “
“ Santai aja Di, nggak usah terlalu dipikirkan, menyiksa diri sendiri. Kalau memang dia nggak mau ya sudah. ‘kan masih ada Ellis “
“ Apa hubungannya sama Ellis “
“ Kau pasti tidak tahu, Ellis ada hati sama kamu “
“ Dari mana kau tahu, dia nggak pernah ngomong apa-apa sama aku “
“ Yah, tentu saja, dia ‘kan anak cewek. Nggak etis dong kalau nembak duluan “
“ Akh, sudahlah. Aku nggak tahu “
“ Besok kau mau ketemuan sama Dwi ya “
“ Ya, begitulah “
“ Sukses ya “
“ Terimakasih Da, aku sudah pasrah “
Angin lembah berhembus membelai pepohonan. Rumput-rumput ilalang bergoyang-goyang meliuk-liuk karena tidak berdaya dipermainkan angin.
Akh….., aku masih sangat ingat percakapan-percakapan sebelumnya. Semuanya mengalir kembali dalam ingatanku, deras, sederas aliran air Sungai Jinah.
“ Kamu Widi ya “
Dwi menoleh kepada Made, temenku yang ikut bareng karena juga sambil beli penjepit kertas. Aku sebenarnya sudah curiga kalau dia pasti Dwi. Tapi aku sudah bilang kalau aku pakai baju biru tapi Dwi malah menunjuk temenku yang pakai baju hitam, apa sengaja ?
“ Dwi ya “ sapaku seraya mendekat Ekspresi wajah Dwi berubah. Aku sedikit kecewa, aku yakin Dwi pasti kecewa padaku. Yah, tapi aku sudah pasrah, habis gimana ? apa aku harus diformat ulang ? kata-kata itu pula yang pernah diucapkannya dan kebalik, malah cocok untukku. Dwi ternyata tepat seperti yang kubayangkan sebelumnya, tapi kurasa bayangan Dwi tentangku pasti sudah meleset. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri atau aku sok tahu ?
“ Iya, kenalan dulu “
Aku sambut tangannya. Dingin dan lembut.
“ Wi, kamu kecewa ya ?”
“ Ah, nggak biasa aja “
“ Lagi nyari apa Wi ?”
“ Nyariin novel buat adikku “
“ Adik ?, Dwi punya adik ?”
“ Nggak , adik sepupu ? ”
“ Suka Novel ? “
“ Iya “
“ Novel kayak gimana ?”
Aku membongkar-bongkar deretan novel-novel dan sesekali aku bolak-balik.
“ Ya, yang kayak gini, tapi nanti aja “
“ Dwi sudah bawa puisinya ?”
“ Sudah “
“ Bisa tukaran sekarang “
“ Ya, tapi tasku disana, yuk, aku ambil dulu “
Aku mengikuti langkahnya menuju tempat penitipan barang. Dwi megambil tasnya dan kemudian mengambil lembaran-lembaran kertas di dalamnya lalu menyerahkannya padaku. Aku menerimanya dan menyerahkan buku kecil yang aku bawa.
“ Puisimu ini ?”
“ Ya, kamu masih ingat kan? memo telkom yang aku bilang biasanya dipakai mencatat keluhan-keluhan pelanggan, tapi malah aku pakai mencatat puisimu yang kamu bacakan
lewat telepon “
“ Ohhh…..”
Dwi mengamati sejenak buku kecil yang aku berikan kemudian memasukkannya. Aku melirik jam tangan. Pukul 15. 40, ujian mulai 15 menit lagi.
“ Waduh, maaf wi, aku ada ujian komputer sekarang “
“ Oh iya, langsung pulang ? nggak minum dulu ? “
“ Waduh, maaf wi, lain kali aja, sebentar aku ada ujian komputer, tadi aku langsung berangkat dari kampus “
“ Oh, iya “
“ Habis ini kemana Wi ?”
“ Aku mau disini aja dulu, kamu langsung pulang ?”
“ Nggak, aku mau ke kampus “
“ Kita pisah sampai di sini aja “
“ ya “
Kupandangi Dwi yang berlalu sampai hilang diantara kerumunan orang-orang. Made sudah di sampingku kembali, lalu kami bergegas kembali ke kampus.
Ternyata Dwi memang menarik. Aku memang sudah yakin sejak semula, aku pasti tidak akan kecewa. Tapi aku merasakan kekecewaan Dwi, atau mungkin itu hanya pikiranku saja, sebab Dwi tak ada persaan apa-apa padaku, dan itu malah membuatku sangat kecewa. Akh, aku tidak pernah mengerti, dan sekarang sampai cerita ini kuakhiri, aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Entahlah, tapi aku yakin semua sudah diatur oleh Yang Di Atas.
Deru sungai jinah kembali kurasakan. Arusnya yang begitu deras sanggup menghanyutkan segalanya, segala rasa kecewaku, segala harapanku yang ambruk, dan juga segala kebahagiaan yang pernah kumiliki walau hanya untuk sejenak.
Aku memandang ke bawah lewat sela-sela kedua kakiku yang terbalut sepatu yang aku biarkan bergelantungan di pinggir jurang, tapi jurang ini seberapa tinggi ya ? kalau ada semut yang jatuh berapa lama agar bisa sampai ke bawah ?
Angin lembah itu datang lagi menerpa wajahku, lembut dan sejuk. Tapi aneh, sepi, tak ada suara apapun selain deru angin yang berhembus berputar-putar di belakangku. Bulu kudukku merinding…..
“ Widi…!”
Aku menoleh.
“ Ehh….Dwi ???“
“ Ya….kenapa ?.”
Dwi tersenyum di belakangku. Tapi aneh wajahnya agak pucat dan samar-samar. Aku menggosok-gosok mataku.
“K..kok…..Dwi....ada di sini ? “
Dwi berpaling dan melangkah, ku mencoba mengejar.
“Dwi kemana ? ….Wi…..awas Wi ….jurang “
Aku menggapai tangannya, tapi ternyata tanganku menggapai ruang kosong, aku tersungkur dan kemudian aku rasakan angin berhembus di sekelilingku, langit dan jurang berputar-putar. Tanganku mencoba menggapai-gapai, tapi aku merasakan rasa sakit yang teramat sangat dan suasana keburu menjadi gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi, entah berapa lama hingga akhirnya ketika aku mencoba membuka mataku, angin berhembus pelan dari sebuah lubang kayu besar tepat di depan wajahku. Kain putih yang bergelantungan di sisinya berayun melambai memanggil-manggil. Sinar surya senja dengan leluasa menerobos dan mengguyur tubuhku yang berbaring lemah di atas kasur busa yang diselimuti kain serba putih, di atas ranjang besi yang kokoh di sudut sebuah ruangan segi empat yang kurasa teramat sangat luas sehingga setiap pandanganku hanya menumbuk ruang-ruang kosong.



Mimpi-mimpi Malam
Vanthey’Kw

Thank’s for the ide


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS