RSS

Lima

Pagi kembali datang, sinar surya pagi terasa hangat di tubuhku. Aku sudah siap berangkat dengan seragam Hitam-putih dengan name text pada saku kemeja dengan bertuliskan ‘PKL’ di sudut kiri atas, dan kata-kata ‘Telkom Kandatel Denpasar’ di bawah sebuah gambar (logo PT. Telkom), baru kemudian gambarku tertempel tepat di tengah-tengah dengan jas almamater warna biru laut, dasi hitam dan kemeja putih menyembul di sekitar leher dengan back ground warna merah. Di bawahnya tertera namaku dengan huruf yang rapih dan bagus. Dan seperti hari kemarin, aku sangat bersemangat untuk cepat-cepat tiba di tempat praktek, kurasa Yuda juga sama, sudah siap-siap berangkat.
Mataku masih merah, aku tak bisa tidur semalaman. Aku cuma pura-pura tidur. Separuh lebih dari isi kepalaku sibuk memikirkan Dwi. Dwi yang baru kukenal lewat telepon, tapi aku merasakan hal lain. Aku merasa telah mengenalnya sejak lama, seperti telah ada perasaan yang sangat khusus, aku tidak dapat mengungkapkannya. Sebelumnya aku tak pernah merasakannya. Memang aku pernah merasa kagum pada temen-temen cewek di SMU dulu, tapi itu sangat berbeda dengan persaan ini, sangat jelas.
Tapi perasaan apa ? kenapa aku terus menerus memikirkannya ? padahal aku tidak tahu apa dia memikirkanku atau tidak. Akh, aku tidak tahu, aku tidak mengerti, aku lelah berfikir sendiri aku lelah…..dan…
Seperti pagi-pagi sebelumnya. Aku duduk di bangku empuk dengan ruangan sendiri, walau sedikit sempit. Di depanku seperangkat personal komputer bertengger di atas meja dan sebuah line telepon di sebelah kanannya. Sebelumnya aku sempat menemui teman-teman di ruangan multi media, sekadar menanyakan absen. Ruangan multi media cukup luas dengan satu meja memanjang dengan kursi di sekelilingnya. Sebuah papan untuk menerima sinar dari layar LCD proyektor terpajang di depan. Biasanya ruangan ini dipakai rapat tapi juga dipakai saat kumpul-kumpul sebelum ke ruangan tugas masing-masing. Ruanganku bersebelahan dengan ruangan Yuda, tapi tidak seperti biasanya, dadaku berdegup lebih kencang sebelum aku mengangkat gagang telepon. Aku tidak mengerti, tapi akhirnya kuangkat juga, dan tentu saja menelpon Dwi.
“ Mat pagi Widi “
“ Eh, mat pagi, aku kira Dwi lupa Passwordnya, ..….Cinta udah bangun”
“ Belum, masih bobok “
“ Tapi nggak ngompol lagi kan?”
“ Nggak , tadi aja , tapi ‘kan udah Papa ganti popoknya “
“ Akh iya, tapi khawatir kalau di tinggal ke kantor, si kecil ngerepotin Mamanya lagi ”
“ Ah, enggak..”
“ Papa kangen juga sama si kecil “
“ Kan udah ada fotonya di dompet “
“ Oh iya, di meja kerja juga ada, Mama di sebelah kiri Papa dan Cinta di tengah-tengah, romantis nggak Ma ?”
“ Ya…..ampunnn….Widi “
Tawa geli sudah tidak bisa dibendung lagi, diam sebentar dan dadaku berdegup lagi, aku tidak tahu ini pertanda apa. Kucoba menenangkan diri dan berkata-kata lagi.
“ Wi “
“ Ya “
“ Aku ada tanda petik, maksudku ada sesuatu yang ingin aku sampaikan “
“ Apa itu “ suara Dwi tertahan
“ Sebenarnya…..” giliran suaraku yang tertahan. Jantungku berdegup lebih kencang. Aku nyaris gugup.
“Sebenarnya….ada perasaan yang sangat khusus yang tidak kupahami padamu Wi “
Akhirnya terlontar juga kata-kata itu. Tak kudengar jawaban, tapi aku sudah pasrah sebab aku sudah terlanjur mengucapkannya.
“ Bagaimana Wi ?“ Dwi diam, tapi kemudian diucapkannya kata-kata dengan santai.
“ Widi…Widi, mimpi apa aku semalam, baru kemarin aku kenal seseorang lewat telepon yang menginformasikan tentang point, eh…..besoknya udah nembak “
Kontan mukaku memerah, syukurnya tidak ada yang tahu. Aku jadi sadar, caraku salah, aku tidak sopan, tapi aku tidak mengerti, aku malah melanjutkan kata-kataku.
“ Maaf , mungkin aku tidak sopan ya ?”
“ Bukan begitu Widi, tapi….tapi kamu belum tahu banyak tentang aku. Aku takut kamu akan kecewa “
“Aku tidak akan kecewa “
“ Tapi Widi ….” Suara Dwi tertahan kembali. Aku diam berusaha menekan segala himpitan yang memberat dan menyesakkan. Dwi melanjutkan kata-katanya.
“ Widi, ..Kok Bisa…..?”
“ Nggak tahu Wi, aku rasa, aku begitu saja bisa akrab sama kamu, yah walaupun baru sebatas lewat telepon “
“ Widi,……sebenarnya aku pernah punya pengalaman seperti ini “
Pengalaman seperti ini ? apa maksudnya ? aku diam. Ingin aku bersembunyi sehingga rasa malu ini tidak bisa mengintipku lagi.
“ Widi, dulu aku pernah punya temen, satu kampus. Aku kenal sama dia gara-gara dia sering nolongin aku di tempat parkir kampus, ngeluarin motor kalau mau pulang. Kalau di telpon dia bisa bicara lancar sama aku, tapi kalau sudah ketemu, dia pasti diam saja, pura-pura tidak tahu “
“ Dia juga suka padamu Wi “
“ Nggak tahu tapi, suatu hari dia pernah nembak, lewat telepon juga, tapi….”
“ Tapi Dwi mau kan ? “
“ Aku bingung saat itu, aku tidak tahu dan aku bilang sama dia kalau aku tidak bisa, ta
pi, aku menawarkan untuk temenan. Setelah itu, dia tidak pernah menelpon lagi, mungkin dia memang nggak mau temenan sama aku “
Aku mendesah, terasa ada yang menyesakkan dadaku, dan ingin kuhempaskan, tapi beban itu terlalu berat dan menghimpitku.
“ Tapi Wi, aku tidak akan seperti itu “
“ Bukan begitu maksudku Widi, bukan. Bukan karena kamu nembak lewat telepon “
“ Jadi aku salah Wi “
“ Aku tidak tahu Widi, aku tidak tahu “
Kali ini aku benar-benar diam. Rasa malu dan kecewa bercampur jadi satu seperti tipat santok bibi kantin, tapi tentu saja rasanya tidak selezat tipat santok bibi kantin.
“ Widi , kamu ditelan bumi ya”
“ Ah.. eh…belum”
“Widi….Kayaknya aku akan mengulang kesalahanku yang dulu ……….“
“ …………”
“ Widi……., aku belum bisa menjawab sekarang, pokoknya kita jalan aja dulu “
Jalan aja dulu ? maksudnya ? tentu saja aku tidak mengerti, tapi aku seakan tersadar dari sebuah kekeliruan. Dwi benar. Bagaimana bisa ? sedang Dwi saja belum tahu aku, begitu juga sebaliknya. Orang bilang cinta itu datang dari mata lalu turun ke hati. Yah walaupun tidak seratus persen orang seperti itu.
“ Terimakasih Wi, kamu bijaksana sekali “
“ Waduh , tersanjung 11 nih “
“ Maafin aku ya Wi, aku telah mengganggu pikiranmu. ….Aku harus melanjutkan tugasku, nanti siang aku telpon lagi”
“ Kamu nggak apa-apa kan ? “
“ Eh….nggak apa-apa, jaga Cinta ya Ma”
“ Tentu saja, Papa Widi, selamat bekerja”
“ Terimakasih “
Aku pandangi layar komputer di depanku. Kursornya berkedip-kedip seiring detak jantungku yang kembali melemah. Aku seakan tidak percaya apa yang tadinya kualami. Berbagai perasaan berkecamuk. Kenapa aku cukup punya nyali ? apa karena tidak secara langsung ? atau mungkin karena memang aku sudah punya nyali sekarang ?
Akh, semuanya menjadi tidak jelas, aku tidak mengerti. Tapi pertanyaan-pertanyaan itu seperti diucapkan orang lain kepadaku. Orang lain yang sangat mengetahui segala seluk-beluk tentangku. Dan dia bertanya lagi. ‘Kenapa kau rusak suasana pagiku yang indah ?’ aku tidak ada maksud seperti itu. ‘Lalu apa ?’ aku tidak tahu. Aku hanya ingin mengungkapkan persaanku, apa aku salah ?, ‘Kau tahu sendiri jawabannya, yang jelas Kau telah merusak suasana pagiku yang indah, kau telah merampasnya, kau telah…’
Hentikan….hentikan….aku meronta sejadi-jadinya, tapi secepat kilat bayangan-bayangan putih berkelebat. Jeritan Ibu…..jeritan Adik dan bayangan putih yang datang paling akhir dengan tabung transparan itu pula, siap menusukku lagi, aku lemas dan kembali lunglai tanpa daya.

* * *

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS